Sejarah Sepak Bola Pada Abad 18, Yang di Miliki Kelas Pekerja

Istimewa

NAKER.NEWS, JAKARTA — Siapa yang tak tahu dengan olahraga satu ini. Sepak bola olahraga yang digemari oleh semua kalangan, tapi di balik sorak sorai nya pertandingan ternyata sepak bola memiliki sebuah sejarah yang sangat panjang. 

Jauh sebelum sepak bola terkenal, pada abad 18, di Inggris Raya, olahraga yang telah menyedot atensi banyak umat manusia itu dibangun oleh mereka para kaum kelas pekerja.

Di Inggris Raya, sepak bola identik dengan bahkan menjadi sebuah simbol bagi para buruh yang bekerja di sektor industri. Bukan hanya suporter, tapi juga klub, wasit, bahkan para pemain, semua berasal dari satu identitas yang sama, yaitu kelas pekerja.

Keterkaitan sepak bola dan para kelas pekerja mulai terhubung karena ada kesamaan waktu antara lahirnya sepak bola dan era Revolusi Industri di Inggris. Sehingga, saling bersinggungan dan menghasilkan interaksi budaya dengan kaum pekerja yang populasinya meningkat pesat kala itu. 

Tradisi menonton sepak bola di stadion tumbuh karena adanya perasaan senasib sependeritaan. Mereka menjadikannya sebagai dasar ikatan sosial karena dirasa mampu memberikan apa yang mereka butuhkan. Sederhananya, sepak bola dipilih sebagai alat pemersatu.

Istilah kekiniannya, “kawinnya” sepak bola dengan kelas pekerja. Bagi mereka, sepak bola bukan hanya permainan menendang bola, melainkan manifestasi sosialisme yang tumbuh karena adanya kesamaan antara apa yang mereka alami di pusat tambang dengan di atas lapangan hijau, yaitu kolektivitas.

Pada masa awal evolusi sepak bola di Inggris, hampir semua klub didirikan oleh golongan kelas pekerja dengan ideologi yang sama, yaitu kolektivisme. Deretan klub ternama seperti Arsenal yang didirikan oleh pegawai royal gudang senjata, MU dari kota industri bernama Manchester, dan Liverpool sebagai kota pelabuhan. Semua kesebelasan itu hadir seiring dengan industri yang berdiri di kotanya.

Yang paling mencolok adalah si Martil West Ham United, klub asal London yang didirikan oleh Arnold Hills dan Dave Taylor, dengan susunan pemain para pekerja atau pandai besi yang bekerja di perusahaan milik kedua founder tersebut. 

Tak tanggung-tanggung, atas dasar kecintaan terhadap sepak bola, seluruh keperluan klub diakomodasi oleh perusahaan. Saking fanatiknya, martil menjadi logo kebesaran klub yang semakin mempertegas bahwa mereka berasal dari kelas buruh.

Dominasi kelas pekerja bukan hanya muncul di Inggris. Klub-klub besar seperti Dortmund dan Schalke di Jerman, AC Milan di Italia, Atletico Madrid di Spanyol, dan Boca Juniors di Argentina, semuanya adalah representasi romantika klub kelas pekerja yang sama-sama lahir dari, oleh, dan untuk kelas pekerja.

Setiap pekan, mereka para buruh datang berbondong-bondong membanjiri stadion demi mendukung klub kesayangan. Menariknya, bukan hanya liga utama, tapi semua kasta tampil ramai dan tak ada bedanya dengan liga utama.

Itulah sebabnya ada alasan logis di balik kenapa pertandingan sepak bola sering dimainkan pada akhir pekan; tak lain adalah untuk menarik antusiasme para buruh yang umumnya mendapat waktu libur pada akhir pekan.

Bagi mereka (working class), sepak bola adalah racun yang ingin terus mereka hirup, penyakit yang tak mau mereka obati, dan di tengah-tengah kerasnya kehidupan, tak ada yang bisa dipeluk selain klub yang mereka bela. 

Sepak bola adalah “candu” yang membuat mereka rela berdesakan, berteriak hingga serak, dan berdarah-darah di stadion untuk klub yang telah dicintainya dari kecil, bahkan turun-temurun.

Namun, dominasi kelas pekerja terhadap sepak bola tidak bertahan terlalu lama. Pada awal periode 1980, hampir semua klub-klub Inggris mengalami krisis finansial, termasuk di antaranya Chelsea, Nottingham Forest, Aston Villa, dan Leeds United. Klub besar seperti Leeds terpaksa menjual aset berupa tanah untuk menutupi utang-utangnya.

Memang, segala yang berkaitan dengan finansial sering kali menjadi perihal yang tanpa ampun. Ia tak punya belas kasih, apalagi pengertian. Finansial adalah hal yang membuat jarak yang begitu jauh antara satu pihak dengan pihak lainnya.

Efeknya adalah kapitalis mulai masuk, mengakuisisi semua klub miskin, hingga akhirnya semua tentang bisnis dan uang. Suporter tak lagi ditempatkan sebagai pemilik saham penuh. Mereka menjadikan iklim sepak bola hari ini tampil begitu borjouis, mewah, dan tidak lagi ramah bagi kelas pekerja.

Akhirnya, sepak bola telah kehilangan substansinya sebagai olahraganya kaum buruh. Dengan masuknya kapitalis, kenikmatan menyaksikan sepak bola mesti ditebus dengan nominal yang sangat tinggi. 

Bahkan, demi mengakomodasi pertandingan liga yang lebih tinggi kastanya (yang lebih menjual), pihak pengelola liga memilih menggelar liga kedua di midweek, bukan pada weekend. Kondisi sepak bola seperti itu telah mengencingi kesucian sepak bola dan telah merusak atmosfir olahraga.

Semenjak itu, sepak bola modern tidak lagi berbicara revierderby, antara kaum proletar vs kaum proletar yang memiliki ideologi dan pendapatan yang sama.

Olahraga yang dulunya menjadi ranah kelas pekerja diubah secara sistematis menjadi sebuah bisnis tanpa memedulikan penggemar yang membentuk tradisi hebat sepak bola itu sendiri.

Tapi, pada akhirnya, suatu saat sepak bola tidak lagi tentang uang. Pasti ada cara-cara yang lebih manusiawi yang membuat kaum pekerja kembali duduk di stadion mereka, sambil menepuk bahu kawan di sebelah mereka dan berkata, “Mate, we are the real fans.”

Artikel ini telah dipublikasikan di Naker.news dengan judul "Sejarah Sepak Bola Pada Abad 18, Yang di Miliki Kelas Pekerja" oleh By Wahyu Kurniawan pada 2023-03-12 10:31:49. Untuk membaca lebih lanjut, kunjungi: https://naker.news/2023/03/12/sejarah-sepak-bola-pada-abad-18-yang-di-miliki-kelas-pekerja/